jump to navigation

MAKSUD ALLAH BERSEMAYAM DIATAS ‘ARSY Oktober 18, 2008

Posted by egiabdurrahman in tarbiyyah imaniyyah.
add a comment

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin di tanya ;

Ya Syaikh, Anda mengatakan bahwa bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy-Nya adalah dengan cara bersemayam yang khusus yang sesuai dengan keagungan Allah dan kebesaran-Nya, kami memohon dengan rendah hati agar dijelaskan lebih detail lagi?

Jawaban:

Kami berpendapat bahwa bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy-Nya adalah dengan cara bersemayam yang khusus, bukan bersemayam secara umum seperti yang dilakukan oleh para makhluk. Maka dari itu tidak sah dikatakan istawa ‘ala al-makhluqat (bersemayam di atas makhluk-makhluk) atau di atas langit atau di atas bumi karena Dia terlalu mulia untuk itu. Mengenai ‘Arsy kami katakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bertahta dan bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Kata istawa lebih khusus daripada kata ‘uluw yang mutlak, maka dari itu bersemayamnya Allah di atas singgasana-Nya termasuk sifat-sifat-Nya yang fi’liyah yang berkaitan dengan kehendak-Nya, lain halnya dengan kata ‘uluw, itu termasuk sifat-sifat dzatiyah-Nya, yang tidak lepas darinya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah secara terus terang menjelaskan tentang hadits yang ada dalam bukunya Majmu’ Al-Fatawa jilid V halaman 522, yang dikumpulkan oleh Ibnu Qasim, “Dengan demikian Allah bersemayam di atas ‘Arsy setelah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Sebelum itu Dia tidak bersemayam di atas ‘Arsy. Dikatakan bahwa kata istawa’ adalah cara bersemayam yang khusus. Segala sesuatu yang bersemayam di atas sesuatu, dia berada di atasnya, tetapi tidak semua yang berada di atas sesuatu tidak disebut dengan bersemayam dan bertahta di atasnya, tetapi segala sesuatu yang bersemayam di atas sesuatu berarti dia berada di atasnya.” Itulah maksud yang sesungguhnya.

Sedangkan perkataan kami “sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya” berarti bahwa bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy adalah seperti sifat-sifat-Nya yang lain, hanya sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, yang tidak sama dengan bersemayamnya manusia. Masalah ini berarti kembali kepada masalah bagaimana bersemayamya Allah di atas ‘Arsy itu, karena sifat mengikuti yang disifati. Sementara Allah adalah dzat yang tidak bisa dibuat permisalannya dan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat lainnya, seperti yang difirmankan Allah, “Tidak ada sesuatu pun yagn sepadan dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura:11).

Tidak ada yang menyamai Allah dalam dzat dan sifat-Nya, maka dari itu, Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang bersemayamnya Allah, beliau menjawab, “Bersemayam adalah sesuatu yang dimengerti, tetapi bagaimana bersemayamnya adalah sesuatu yang tidak masuk akal namun harus diimani dan mempertanyakannya adalah bid’ah.” Ini adalah ukuran untuk semua sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan-Nya untuk Diri-Nya sendiri dalam bentuk yang sesuai dengan-Nya tanpa mengubah, tanpa mengada-ngada, tanpa mempertanyakan, dan tanpa membuat permisalan.

Dari sini jelaslah faedah dari pendapat ini bahwa bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy adalah bersemayam dengan cara yang khusus untuk-Nya, karena ketinggian secara umum adalah milik Allah, baik sebelum menciptakan langit dan bumi, ketika menciptakan, maupun sesudah menciptakan keduanya; karena hal itu termasuk sifat wajib-Nya, seperti Maha Mendengar, Maha Melihat, Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya.

Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm 85 – 86.

SYAIKH AL-‘UTSAIMIN rh TENTANG BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLAH September 25, 2008

Posted by egiabdurrahman in menangkal syubhat.
add a comment

FATWA SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-‘UTSAIMIN rh

TENTANG BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLAH

(FIKIH IBADAH hlm 62 – 64)

Pertanyaan :

Bagaimana gambaran berhukum dengan selain yang diturunkan Allah ?

Jawaban :

Menentukan hukum dengan selain yang diturunkan Allah terbagi menjadi dua,

Pertama : Membatalkan hukum Allah untuk diganti dengan hukum thaghut, yaitu mengesampingkan hukum syariat di antara manusia dan menggantinya dengan hukum lain sehingga manusia mengesampingkan hukum – hukum syar’i dalam muamalah mereka dan menggunakan undang – undang buatan. Perbuatan ini, yaitu mengganti syari’at Allah dengan hukum lainnya adalah suatu kekufuran yang mengeluarkan dari agama, karena orang yang berbuat demikian berarti telah menempatkan dirinya pada kedudukan pencipta, yaitu dengan menetapkan hukum pada hamba – hamba Allah yang tidak diizinkan Allah, bahkan menetapkan sesuatu yang menyelisihi hukum Allah dan menjadikannya sebagai penentu di antara makhluk. Allah menyebut itu dalam firman-Nya sebagai perbuatan syirik ;

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syura : 21)

Kedua : Hukum – hukum Allah ditetapkan sebagaimana adanya (sebagai hukum resmi negara), dan dalam hal ini hukum – hukum ini mempunyai kekuatan dan dijadikan landasan (acuan). Tapi ada di antara para hakim yang menetapkan dengan ketentuan yang di luar garis hukum – hukum itu atau menetapkan dengan ketetapan selain yang di tetapkan Allah. Dalam hal ini ada tiga kondisi :

Kondisi pertama, memutuskan perkara dengan sesuatu yang menyelisihi syariat dengan berkeyakinan bahwa itu lebih baik daripada hukum Allah dan lebih bermanfaat bagi para hamba Allah, atau berkeyakinan bahwa itu sebanding dengan hukum Allah SWT, atau berkeyakinan bahwa ia boleh menetapkan hukum selain yang telah ditetapkan Allah SWT. Perbuatan ini adalah kekufuran dan mengeluarkan hakim yang melakukannya dari Islam, karena yang demikian berarti ia tidak ridha dengan hukum Allah SWT dan tidak menjadikan Allah SWT sebagai hakim di antara para hamba-Nya.

Kondisi kedua, memutuskan perkara dengan selain yang ditetapkan Allah dengan berkeyakinan bahwa hukum Allah lebih utama dan lebih bermanfaat bagi para hamba-Nya, namun ia keluar dari itu dan disertai telah berbuat maksiat terhadap Allah, ia ingin berbuat curang dan aniaya terhadap terdakwa karena adanya permusuhan di antara mereka. Jadi, ia menghukum dengan selain yang telah ditetapkan Allah SWT itu bukan membenci hukum Allah dan bukan karena menggantinya, bukan pula karena berkeyakinan bahwa hukum yang ditetapkannya lebih baik daripada hukum Allahatau setara, dan tidak pula berkeyakinan bahwa ia boleh menetapkan hukum buatannya, akan tetapi karena ingin mencelakakan terdakwa dengan hukum selain yang telah ditetapkan Allah. Untuk kondisi semacam ini kami tidak mengatakan bahwa hakim itu kafir, tapi kami katakan bahwa hakim itu zhalim dan jahat.

Kondisi ketiga, memutuskan perkara dengan selain yang telah ditetapkan Allah namun tetap berkeyakinan bahwa hukum Allah lebih baik dan lebih bermanfaat bagi para hamba-Nya, dan saat menetapkan hukum itu ia merasa telah berbuat maksiat terhadap Allah SWT, akan tetapi ia menetapkan hukum karena kecenderungan nafsunya, yaitu demi kemashlahatan dirinya atau diri terdakwa. Hakim seperti ini adalah fasik dan keluar dari ketaatan kepada Allah SWT.

Untuk ketiga kondisi tadi telah disebutkan Allah dalam firman-Nya. Untuk kondisi pertama :

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah : 44)

Kondisi kedua :

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah : 45)

Kondisi ketiga :

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah : 47)

Pada zaman sekarang, masalah ini sangat rawan, sebab sebagian orang yang takjub dan terpengaruh dengan aturan – aturan non muslim, sampai – sampai membuat mereka terpesona, bahkan bisa jadi mendahulukan hukum itu daripada hukum Allah dan Rasul-Nya tanpa menyadari bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itu tetap berlaku hingga hari kiamat, Yang mengutus beliau adalah Allah Yang Maha Mengetahui kondisi para hamba-Nya hingga hari kiamat, sehingga tidak mungkin Allah menetapkan untuk para hamba-Nya kesuali yang bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia mereka hingga hari kiamat. Barangsiapa yang mengaku atau mengklaim bahwa ada selain hukum Allah di zaman ini yang lebih berguna bagi para hamba Allah daripada hukum – hukum yang ditetapkan pada masa Nabi SAW, berarti ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata, ia wajib bertaubat kepada Allah SWT dan kembali kepada petunjuk-Nya.


SABAR, TAHAN UJI & TIDAK TERGESA – GESA September 25, 2008

Posted by egiabdurrahman in d&t.
add a comment

Sikap ini dilakukan dengan cara kita mempersiapkan diri sejak dini bahwa jalan ini (dakwah) sangatlah panjang, beban muatannya sangatlah besar, aral merintangnya sangatlah banyak. Musuh – musuh Allah selalu menunggu giliran. Mereka sangat teliti mengintai kita disetiap kesempatan, dengan tujuan mempengaruhi dan menjadikan tergesa – gesa, agar dapat mencapai akar pokoknya atau menjadikannya tertunda. Kita mempersiapkan diri kita untuk itu semuanya, kita menghadapinya dengan sabar dan tahan uji dengan penuh kehati-hatian dan pertimbangan, tidak tergesa – gesa. Kita memiliki tarbiyah Al-Qur’an untuk kaum muslimin sejak pertama kali, dan didalam sunnah Nabi kita Muhammad SAW, sang teladan dan panutan, sungguh beberapa ayat telah turun :

“Maka bersabarlah kamu sebagaimana bersabarnya orang – orang yang mempunyai keteguhan hati (ulul azmi) dari kalangan para Rasul, dan janganlah kamu meminta disegerakan (siksa) bagi mereka. Pada hati ketika mereka melihat siksa yang diancamkan kepada mereka, mereka (merasa) seolah – olah tidak tinggal (di dunia) kecuali hanya sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (QS. Al-Ahqaf : 35)

“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali -kali janganlah orang – orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat – ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. Ar-Rum : 60)

“Jika kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan bahaya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa saja yang mereka kerjakan.” (QS. Ali – Imran : 120)

Pengarahan dari Nabi SAW berupa sabar, tahan uji dan tidak terpengaruh oleh segala pengaruh bagaimanapun juga keadaannya, dan bagaimanapun juga macam ragamnya, disertai dengan kehati – hatian dan pertimbangan , tidak tergesa – gesa. Semua ini akan mendidikkanpada diri mereka ketaatan, merendah diri, dan kepatuhan.

Ustadz Abu Al-Hasan An-Nadwi, berkata ;

“Beginilah, sang Rasul SAW memberi makan ruhani mereka dengan Al-Quran, mendidik jiwa mereka dengan iman, menyuruh mereka bersabar menghadapi gangguan, melonggarkan dengan baik, dan menundukkan nafsu diri. Sungguh mereka telah mampu menundukkan kecintaan terhadap perang, padahal seolah – olah mereka itu lahir bersama pedang. Mereka berasal dari satu masyarakat yang hari – harinya berisi perang yang luluh lantak, bengkak dan berdebu. Perang Fujjar belum lama berlalu, akan tetapi Rasulullah SAW menundukkan perangai perang mereka dan mengekang arogansi ke-Arab-an mereka. Beliau bersabda, “Tahanlah tangan kalina! Tegakkanlah shalat, tunaikanlah Zakat!”. Mereka pun tunduk pada perintah beliau, menahan tangan mereka. Tahan terhadap gangguan kafir Quraisy bukan karena sikap pengecut, dan bukan karena lemah tak berdaya. Sejarah tak pernah mencatat satupun peristiwa seorang muslim membela dirinya dengan menghunuskan pedang di Mekah, padahal alasan dan dorongan untuk melakukannya sangatlah banyak dan kuat. Itulah puncak ketaatan dan ketundukan diri yang pernah dicatat oleh sejarah.

Barangkali gambaran paling jelas yang digambarkan oleh Nabi SAW dalam hal ini adalah berita tentang keadaan Khabbab bin Al-‘Arat, kala Dia berkata, “Aku mendatangi Nabi SAW saat beliau berbantalkan kain burdah, berada di naungan Ka’bah, sungguh orang – orang musyrik telah menimpakan berbagai macam siksaan yang terhadap kami. Aku berkata, “Tidakkah Engkau berdoa untuk kami?”, lalu beliau duduk dalam keadaan memerah wajahnya, seraya bersabda, “Sesungguhnya orang – orang sebelum kalian disisir dengan sisir besi sampai mencapai daging di bawah tulangnya, atau bentuk kepayahan lainnya. Tetapi itu tidak memalingkannya dari agamanya. Ada lagi yang diletakkan gergaji di atas kepalanya lalu dia dibelah menjadi dua bagian, namun siksaan itu tidak bisa juga memalingkan mereka dari agamanya. Sungguh urusan ini akan mencapai ksempurnaan, sehingga seseorang pengendara kuda dapat bepergian dari Shan’a sampai Hadramaut dalam keadaan tidak takut terhadap apaun kecuali kepada Allah, dan kepada srigala atas dombanya.” (HR. Bukhari)

Beliau berjalan melewati keluarga Yasir dalam keadaan dibelenggu dan disiksa, Beliau SAW tidak lebih hanya mengucapkan kata – kata kepada mereka,

“Bersabarlah, wahai keluarga Yasir! Bersabarlah wahai keluarga Yasir!! Karena tempat kembali kalian adalah surga.”